Oleh: Adi Putra Progresif
Momentum Pemilu 2014 ini, segera mengangkat kembali tema abadi dalam kehidupan bersama. Itulah Demokrasi dengan segala perbincangannya. Tidak terkecuali Masyarakat Madura, Pemilu menjadi ‘wahana’ bagi setiap Manusia Madura untuk kembali mengingat tentang sebuah ‘mekanisme’ demokrasi.
Meski sangat proseduralis, Momentum Pemilu memang menjadi lantaran kuat bagi setiap Manusia (setidaknya di Indonesia) untuk menyadari bahwa Berdemokrasi adalah prinsip-prinsip yang dipakai dan diakui secara umum. Sedikit saja yang membantah kenyataan ini. Tapi juga tidak dapat dikatakan tidak ada. Karena pada kenyataannya, belakangan tumbuh subur kelompok Masyarakat yang secara tegas Menolak Demokrasi.
Namun lepas dari kontroversi, pro-kontra akan demokrasi, Madura kini tengah menuju Demokratisasi-nya. Tahap-tahap prosedural, sebagai bentuk dari ‘membangun/ (building) demokrasi berjalan dengan Maknanya yang tersendiri, Makna yang mungkin telah menjadi Identifikasi khas bagi Madura dan Demokrasinya.
Sebagian dari kita mungkin menganggap bahwa Madura masih jauh untuk dapat disebut mendekati Subtansi Berdemokrasi. Masih sangat jauh memang, karna pun Indonesia secara umum masih sangat jauh dari subtansi berdemokrasi. Namun paling tidak, dengan hingar-bingar Pemilu 2014, dimana Poster, baliho, spanduk, dan Alat Peraga Kampanye (APK) lainnya, yang kini berterbaran di Madura, memberikan kita ‘ingatan’ bahwa Demokrasi terus berproses dalam bentuknya sendiri di Bumi Madura.
MasihTransisi atau Sudah Konsolidasi?
Dalam teori Demokrasi konvensional, Ketika Masyarakat mulai meng-efektifkan hak-hak liberatifnya, itu menjadim pertanda bahwa telah terjadi Transisi Demokrasi. Demikian O’Donnel dan Schmitter (1997) memberikan batasan. Berdasar akan hukum-hukum tersebut, maka tentu dapat dikatakan Madura telah bertransisi bersamaan dengan proses transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia Melalui Reformasi. Karena pada kenyataannya, pada taraf tertentu, efektifnya hak-hak individu dan kebebasan tertentu telah dimiliki oleh masyarakat Madura.
Hanya saja memang, proses transisi itu belum berjalan sempurna menuju terbentuknya ‘pluralisme politik’. Kembali mendasarkan pemahaman pada Teori Demokrasi Modern, menurut Giovanni Sartori (1997;62), sebagai puncak dari transisi maka dibutuhkan kondisi dimana terjadi ‘diversivication of power’ atau poliarchy, kondisi dimana distrbusi kekuasaan politik terpencar disejumlah kekuatan-kekuatan atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat. Melihat pada Madura terkini, hal tersebut memang belum terbentuk sempurna.
Namun bentuk tak-sempurna itu tidak juga objektif untuk dikatakan sebagai kegagalan berdemokrasi di Madura. Karena pada fakta yang terlihat, meski pluralisme politik tak-terbentuk secara sempurna, terjadi Demokratisasi Politik yang pada akhirnya juga tidak terbentuk sempurna. Meminjam Istilah Samuel Huntington, Demokratisasi diartikan dengan Institusionalisasi Politik dimana tuntutan-tuntutan serta dukungan-dukungan politik dari publik mendapat tempat secara prosedural dalam kerangka penyelesaian suatu konflik. Bagi Madura, thesis Huntington ini sudah terpenuhi dengan kadarnya sendiri.
Lalu bagaimana dengan terbentuknya Regime Demokrasi yang kokoh? bagi Madura memang belum terlihat projektif. Namun bukan Mustahil, melalui Momentum Pemilu 2014 ini, Regim itu akan terbentuk, Meski lagi-lagi tidak diharapkan terbentuk sempurna. Melihat Komposisi dan Kompetisi menjelang Pemilu 2014 ini, Demokrasi Prosedural di Madura (secara umum) berjalan dengan baik. artinya, harapan akan terbentuknya Regim Demokrasi melalui Kontestasi Elektoral (Pemilu 2014) ini boleh diangkat kepermukaan.
Makna Khas
Penulis berkeyakinan, bahwa Madura memiliki makna yang khusus (khas) dalam berdemokrasi. Bukan tanpa dasar, kekhususan itu bahkan memiliki fondasi teoritik yang justru dikandung oleh demokrasi itu sendiri. Pluralitas sebagai salah satu nilai intrinstrik dari demokrasi, tentu memiliki peluang untuk menjadi wajah dari Demokrasi di madura. Melihat realitas ketidak-sempurnaan (ketidak-tuntasan) proses-proses menuju Demokrasi, yang terjadi Madura, menjadi bukti bahwa ada peluang Interpretasi dan Justifikasi bagi penilaian atas Demokrasi Madura.
Perubahan Sosial-Masyarakat yang terjadi di Madura memang menjadi faktor yang paling dominan dan membentuk karakter Demokrasi (Demokratisasinya)-nya. Perjalanan panjang Masyarakat, dari Feodalisme (Kerajaan dan Kekuasaan Kyai) Menuju Birokratisme (Orde-Baru) berlanjut pada Kapitalisme (Reformasi Pra-BPWS) dan Kini Neoliberalisme (Karena BPWS), memaksa Madura untuk Mengidentifkasi sendiri Proses Demokratisasi yang dialaminya.
Pada kondisi iniliah, Akhirnya Penulis mendiskusikan bahwa Madura Memiliki bentuk Demokrasinya sendiri. yang sah-sah saja dikatakan gagal dengan menggunakan parameter konvensional, namun berhak untuk dikatakan sukses atas parameter sosial-masyarakat Madura.